Pada tahun 1815, Gunung Tambora yang terletak di Pulau Sumbawa, Indonesia, meletus dengan kekuatan yang dahsyat dan menjadi salah satu erupsi gunung berapi terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Erupsi ini tidak hanya merusak wilayah sekitarnya secara langsung, tetapi juga mempengaruhi iklim global dan memicu serangkaian peristiwa yang berdampak pada dunia.
Baca Juga : Gempa Bumi Tangshan 1976: Bencana Dahsyat dalam Sejarah Modern Tiongkok
Latar Belakang
Gunung Tambora, sebelum erupsinya, memiliki ketinggian sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut, menjadikannya salah satu gunung tertinggi di Indonesia. Selama bertahun-tahun, aktivitas vulkanik dalam gunung ini terus meningkat, yang pada akhirnya memicu letusan besar pada bulan April 1815. Letusan Gunung Tambora ini masuk dalam kategori “Ultra-Plinian,” yang berarti letusan tersebut sangat eksplosif dan mengeluarkan sejumlah besar material ke atmosfer.
Puncak Letusan: April 1815
Erupsi puncak terjadi pada 10 April 1815. Letusan ini berlangsung selama beberapa hari dan menghasilkan suara yang terdengar hingga sejauh 2.600 km dari pusat letusan, termasuk di Sumatera dan Kalimantan. Ledakan ini melemparkan sekitar 150 kubik kilometer material, termasuk abu vulkanik, gas, dan batuan, ke udara. Gunung Tambora kehilangan sekitar 1.500 meter dari puncaknya akibat letusan tersebut, mengurangi ketinggiannya menjadi sekitar 2.850 meter dan menciptakan kaldera besar yang kini menjadi salah satu ciri khas gunung tersebut.
Dampak Lokal
Erupsi ini memiliki dampak yang mengerikan bagi penduduk lokal. Pulau Sumbawa dan wilayah sekitarnya mengalami kehancuran total. Diperkirakan lebih dari 71.000 orang meninggal dunia akibat letusan, baik langsung dari erupsi maupun akibat dari kelaparan dan penyakit yang menyusul. Abu vulkanik yang tebal menutupi wilayah seluas ribuan kilometer persegi, menghancurkan pertanian, merusak sumber air bersih, dan memusnahkan flora dan fauna di sekitar.
Dampak Global: “Tahun Tanpa Musim Panas”
Selain dampak lokal yang signifikan, letusan Tambora juga memiliki dampak global yang sangat besar. Abu vulkanik dan gas sulfur dioksida yang dilepaskan ke atmosfer menyebabkan penurunan suhu global secara drastis. Pada tahun 1816, dunia mengalami fenomena yang dikenal sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas” (The Year Without a Summer). Terutama di Eropa dan Amerika Utara. Suhu yang lebih dingin dari biasanya menyebabkan gagal panen, kelaparan, dan penyakit di berbagai belahan dunia.
Di Eropa, musim dingin yang berkepanjangan dan musim panas yang dingin memicu krisis pangan, sementara di Amerika Utara, salju turun pada bulan Juni, merusak hasil panen. Dampak dari erupsi Tambora ini terasa hingga jauh di belahan bumi lainnya. Memperlihatkan betapa besar kekuatan alam yang dilepaskan dari gunung berapi ini.
Warisan Geologi dan Budaya
Erupsi Gunung Tambora menjadi peringatan bagi dunia tentang potensi kehancuran dari letusan gunung berapi besar. Kaldera yang terbentuk setelah letusan menjadi daya tarik geologi yang menarik perhatian ilmuwan dan wisatawan. Selain itu, letusan Tambora juga mempengaruhi budaya manusia. Dipercaya bahwa suasana yang gelap dan suram akibat erupsi Tambora turut memengaruhi penulis Inggris terkenal. Mary Shelley, dalam menciptakan novel horor klasiknya. Frankenstein, yang ditulis pada tahun 1816.
Kesimpulan
Erupsi Gunung Tambora pada tahun 1815 adalah salah satu bencana alam terbesar yang pernah terjadi di bumi. Letusan ini tidak hanya menghancurkan wilayah sekitarnya secara langsung, tetapi juga mempengaruhi iklim global dan kondisi sosial-ekonomi di banyak bagian dunia. Sebagai salah satu contoh nyata dari kekuatan destruktif gunung berapi. Tambora mengingatkan kita akan pentingnya memahami dan mempersiapkan diri terhadap bahaya alam yang tak terduga.